
fpik.ipb.ac.id--Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Takalar menyelenggarakan kegiatan “Bimbingan Teknis terkait Cara Budidaya Ikan yang Baik (CBIB)” pada Sabtu 18 Desember 2021. Acara ini merupakan salah satu bentuk kegiatan kerja sama FPIK IPB University dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Takala. Prof. Dr. Bambang Widigdo, dosen Dept. Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB University hadir sebagai narasumber pada kegiatan ini. Beliau merupakan pakar di bidang pengelolaan sumberdaya perairan serta berpengalaman puluhan tahun di bidang budidaya tambak udang. Materi yang dipaparkan oleh Prof. Bambang berjudul “Budidaya Udang Masih Menarik, dan Menjanjikan Profit Tinggi, tapi Kenapa Sulit Menjaga Kelestarian Usaha?” Topik yang sangat menarik sekaligus merupakan tantangan pada implementasi CBIB pada sektor perikanan budidaya.
Pemaparan materi diawali dengan memberi pemahaman kepada para penyuluh dan pelaku budidaya tambak udang bahwa bisnis udang masih sangat menarik secara ekonomis karena berorientasi ekspor. Di tingkat petambak, margin usaha ini berkisar antara 30-40 ribu per kg dan tidak terpengaruh secara nyata walaupun mengalami pandemi Covid-19. Prof. Bambang melanjutkan “Agar produk budidaya udang Indonesia dapat bersaing di pasar internasional, kita harus dapat menunjukkan seberapa jauh dapat memenuhi persyaratan/kriteria internasional”. Kriteria yang dimaksud telah dirumuskan oleh FAO/NACA (2006) dalam panduannya yang disebut dengan International Principles of Responsible Shrimp Farming (IPRSF). Inti dari persyaratan tersebut adalah kegiatan produksi udang budidaya harus dijalankan dengan cara yang ramah lingkungan, ramah sosial, dan produknya sehat dikonsumsi (tidak mengandung antibiotik dan residu bahan kimia yang berbahaya).
Beberapa persoalan lingkungan yang terkait dengan budidaya tambak udang, di antaranya perubahan bentang alam mangrove yang dikonversi menjadi tambak, salinasi (intrusi air laut ke tanah daratan), penggunaan tepung ikan (by cacth), pencemaran perairan pesisir akibat limbah tambak, serta ancaman “biodiversity” (jika benur diambil dari alam). Para pemerhati/peneliti lingkungan belakangan ini juga mulai gencar menghubungkan peningkatan gas rumah kaca (greenhouse gasses) dengan perluasan tambak udang. Menurut kajian beberapa peneliti, kegiatan tambak udang menduduki peringkat pertama dalam menurunkan luasan hutan mangrove Indonesia, diikuti oleh penambangan kayu, dan kegiatan lainnya.
Dilematisnya saat ini pemerintah sedang berupaya meningkatkan produksi udang mencapai 250% di tahun 2024 dibanding 2018, serta berencana membuka tambak baru sekitar 100 ribu ha. Sesuai panduan FAO/NACA 2006 di atas, maka disarankan agar tambak dibangun di atas kawasan supratidal (di atas kawasan hutan mangrove) dan tambak tambak tradisional ditingkatkan intensitasnya menjadi tradisional plus, semi intensif, atau intensif. Prof. Bambang menyoroti lahan tambak yang terbengkalai sebaiknya dapat kembali ditanami pohon-pohon mangrove. Prof. Bambang di akhir pemaparan menyampaikan “Agar produk kita memenangkan persaingan global, maka harus mengikuti sertifikasi baik melalui program nasional (CBIB) maupun internasional (BAP, Euro GAP, maupun dari WWF)”.