
School of Coral Reef Restoration (Scores) kembali hadir untuk membahas restorasi terumbu karang di Pantai Senggigi, beberapa waktu lalu. Asrul Hanif dari Yayasan Terumbu Halus (YTR) dan Idris dari Yayasan Terumbu Karang Indonesia (Terangi), hadir sebagai pembicara dalam kegiatan yang diadakan oleh Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan (ITK), Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK).
Asrul mengatakan, Artificial Reef merupakan instalasi seni patung yang digunakan sebagai media tumbuhnya terumbu karang. Berlandaskan kecintaan pada bumi, Karang Buatan yang digagas YTR memiliki tujuan yang lebih besar. Yaitu menumbuhkan, memelihara, dan melestarikan terumbu karang di seluruh Indonesia.
“ART dalam Artificial Reef berarti seni. Kami menggunakan seni untuk membuat terumbu karang. Melalui seni, kita bisa menginspirasi orang lain. Harapannya, karya seni yang ada di laut dapat menginspirasi banyak orang untuk melakukan hal yang sama, untuk lebih mencintai laut,” ujar praktisi karang dari YTR.
Asrul juga menambahkan, Artificial Reef awalnya dilepas sebagai upaya rehabilitasi terumbu karang di Pantai Senggigi.
Menurutnya, Pantai Senggigi awalnya merupakan hutan bawah laut, namun kemudian menjadi 'Gurun Sahara' akibat trawl, polusi, dan limbah industri. Dikatakannya, Teguh Ostenrik (Pendiri YTR) kemudian tergerak untuk melaksanakan proyek Artificial Reef pertama di Pantai Senggigi. Yaitu dengan menyediakan 'domus' bagi organisme laut.
“Domus Sepiae adalah rumah bagi cumi-cumi. Kenapa rumah cumi? Karena dulunya banyak sekali cumi-cumi di Pantai Senggigi. Harapannya ikan-ikan yang hilang bisa kembali (ke Pantai Senggigi), termasuk cumi-cumi," tambah Asrul.
Saat ini, lanjutnya, selain di Pantai Senggigi, Karang Buatan juga sudah dilepas di daerah lain. Seperti Pulau Bangka (Sulawesi Utara), Ternate (Maluku Utara), Wakatobi (Sulawesi Tenggara), Pulau Sepa (Kepulauan Seribu, Jakarta), dan Bangsring (Jawa Timur).
Dilihat dari sudut pandang yang berbeda, kata Idris, upaya restorasi terumbu karang merupakan pilihan bijak di tengah ketidakpastian.
“Kegiatan rehabilitasi bersifat kasus per kasus, sehingga tidak bisa digeneralisasikan di setiap daerah yang tentunya akan menghadapi permasalahan dan tekanan yang berbeda-beda. Kami tidak bisa menggunakan satu pendekatan generik untuk semua lokasi ini,” kata Idris.
Dalam paparannya, Idris menyampaikan bahwa degradasi ekosistem terumbu karang dapat terjadi karena pengaruh alam dan antropogenik. Oleh karena itu, restorasi ekologi merupakan solusi yang dilakukan Terangi untuk membantu memulihkan ekosistem terumbu karang yang telah terdegradasi, rusak, atau musnah.
Namun sebelum itu, lanjutnya, perlu diambil keputusan terkait penilaian potensi pemulihan dengan mempertimbangkan faktor pertumbuhan terumbu karang, kualitas air, stabilitas substrat dasar, keberadaan alga dan herbivora alami, serta rekrutmen terumbu karang.
“Jadi kita tidak hanya bicara restorasi harus melibatkan intervensi fisik secara langsung,” imbuh Idris.
Selain itu, kata dia, pendekatan lain yang dapat dilakukan dalam upaya restorasi karang adalah restorasi berdasarkan rekrutmen karang dan restorasi berbasis terumbu buatan.
Dr Hawis Madduppa, selaku Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan (ITK), Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) IPB University berharap Scores dapat menjadi wadah belajar dan berbagi ilmu antara praktisi restorasi, mahasiswa, dan akademisi.
“Mudah-mudahan semua pihak bisa saling menguatkan dari segi teori dan pengalaman, sehingga proses terumbu karang ke depan lebih baik lagi,” ujarnya.
SDGs 14 Life Below Water