
Pesona alam Raja Ampat, Papua rupanya tak seindah pengembangannya.Tarif yang mahal menjadi satu dari segelumbung persoalan yang menghambatnya pengembangan wisata di
Raja Ampat.
Selama ini, image yang terpatri di Raja Ampat adalah mahal. Mulai dari transportasi hingga biaya penginapan
Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, Dr. Ir. Fredinan Yulianda M.Sc. berujar nantinya tak menutup kemungkinan akan ada paket Wisata murah di Raja Ampat.
Sejauh ini, tim dari ICCTF - Bappenas dan PKSPL-IPB masih terus berupaya menanamkan nilai-nilai ekowisata pada masyarakat.
ICCTF -Bappenas dan PKSPL-IPB menambatkan menjaga lingkungan bersih, juga standar yang diperlukan wisatawan.
"Bagaimana mereka didorong membangun home industry tourism, industri kreatif dengan skala masyarakat. Misal home stay, kita berikan ke masyarakat ada porsinya, tapi didik dan dibina, supaya memenuhi standar. Kan ada standar yang dibutuhkan pengunjung, makanya mereka cari resort yang mahal eksusif," kata Fredinan.
Dengan modal standar yang diperlukan, katanya, kemudian diaplikasikan oleh masyarakat hingga bisa membuat paket murah.
"Kita ambil standar yang di sana, tapi dibuat paket yang sederhana. Besih, tempat tidur nyaman. Kenapa di sini sampai jutaan per malam, di sana lebih murah karena dibuat dalam paket sederhana tapi standarnya nyaman, wisawatan kan perlunya nyaman dan bersih," kata Fredinan.
Selain itu, masyarakat Raja Ampat juga perlu dibentuk perilakunya agar terbiasa menghadapi wisatawan.
"Itu yang harusnya terbentuk oleh budaya masyarakat disini, sehingga mereka terbiasa dengan kebutuhan wisata. jadi perilakunya juga sudah wisawatan. cara bicara, tampilan, berpakaian, sikap itu kan harusnya dibentuk jadi gak bisa juga dibiarkan secara alami, nanti respon dari wisawtaan juga tidak positif," ujar Fredinan.
Kini, perguruan tinggi sudah berupaya membantu dalam sektor edukasi.
"Kita bisa bantu di situ sehingga nanti betul-betul SDM kedepan menjadi modal daerah mengembangkan daerah kedepan," katanya.
Saat ini, menurut Fredinan Yulianda, wisata Raja Ampat menjadi mahal karena investornya dari luar negeri.
"Lho iya (bisa ada wisata murah). yang bikin mahal itu kan investornya dari dulu. Coba kalau pelaku bisnisnya putra daerah dan dengan kebutuhan daerah kan standarnya lebih murah, dibanding asing. Standar itu kita berharap dengan standar lokal tapi kualitasnya internasional," katanya.
Menurutnya, saat ini sudah ada segelitir orang yang menerapkan standar yang dimaksud.
Namun pergerakan tersebut belum banyak dikenal wisatawan karena minimnya dukungan dari Pemerintah.
"Sudah ada, sudah mulai. cuma sikapnya sporadis. termasuk binaan perguruan tinggi. Cuma gak banyak kan itu terkendala pada jumlah yang kecil. sementara jumlah kecil ini kalau tidak didorong saran fasilitas kebijakan dari pemerintah kadang evortnya terlalu besar," kata Fredinan.
ICCTF - Bappenas dan PKSPL-IPB sudah melakukan edukasi pada masyarakat soal penerapan standar ini.
Namun itu semua justru menjadi percuma karena lagi-lagi, tujuan tersebut tak sejalan dengan kebijakan pemerintah.
"Tapi jalannya tidak dibangun, aksesnya, tidak jadi prioritas dari pengembangan daerah. ya gak bisa berkembang juga. harusnya kan masuk master plan pembangunan daerah kalau niatnya betul-betul pemda membangun kesejahteran masyarakat," tukasnya.
Tim dari ICCTF- Bappenas dan PKSPL-IPB kini kembali mendatangi Ranja Ampat untuk menunjukan implementasi dari studi dan kegiatan yang telah dilaksanakan.
Sejauh ini program Desain Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpada dalam mendukung Percepatan Pelaksanaan RZWP-3-K di Provinsi Papua Barat, sebagai bagian dari program Coral Reef Rehabilitation and Management Program -Coral Triangle Initiative (COREMAP-CTI), sudah berhasil dilaksanakan.
Tim dari ICCTF- Bappenas dan PKSPL-IPB sudah melakukan replantasi terumbu karang, rehabilitasi mangrove hingga tata kelola pesisir terpadu