
Forum Wacana IPB University menggelar Forum Wacana Talk dengan tema “Potensi Komoditas Lobster pada Perekonomian Nasional”, (15/12). Kegiatan tersebut mengundang beberapa narasumber baik dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) maupun IPB University dalam pandangannya mengenai pengelolaan lobster di Indonesia.
Dr Riza Damanik, Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia berpendapat bahwa cara pandang mengenai perekonomian lobster mesti diubah. Kesalahan dalam mengidentifikasi persoalan mengenai polemik ekspor lobster tanpa disadari memberikan simplifikasi terhadap peran negara dalam pengelolaan lobster. Indonesia juga perlu belajar dari negara yang telah berhasil lebih dulu sebagai pengeskpor lobster, misalnya Kanada. Selain itu, seharusnya pengelolaan lobster juga dikembangkan ke arah budidaya sebagai arah baru lobster Indonesia.
Dosen IPB University dari Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK), Dr Irzal Effendi pun setuju dengan pendapat tersebut. Menurutnya, seharusnya lobster tidak hanya sebatas aspek benih namun juga pengembangan budidaya. Kekayaan benih lobster stadium puerulus di pesisir Indonesia merupakan anugerah yang seharusnya dapat dikembangkan.
Pentingnya pengembangan akuakultur juga menindaklajuti kegiatan overfishing yang dikhawatirkan dapat mengancam stok komoditas perikanan. Sehingga seharusnya paradigma pembangunan perikanan dengan mengendalikan perikanan tangkap melalui usaha budidya sudah harus mulai diterapkan. Data Food and Agriculture Organization (FAO) sendiri menyebutkan bila perkembangan akuakultur di Indonesia cenderung stagnan.
Ia menyebutkan bahwa arah pengembangan budidaya berdasarkan Permen-KP No.12 tahun 2020 tentang pengelolaan lobster harus dimaknai. Dengan evolusi akuakultur, penyelamatan sumberdaya alam dari pemborosan dapat diatasi. Evolusi tersebut ialah perubahan dari penangkapan ke akuakultur berbasis benih alam menuju total akuakultur. Nantinya, benih lobster yang diekspor tak dalam bentuk baby atau juvenile namun stadium phyllosoma yang kelangsungan hidupnya tinggi.
Macetnya perkembangan budidaya lobster di Indonesia sendiri dikarenakan kapasitas keramba untuk budidaya masih amat terbatas di angka 10.000 keramba. Bila kapasitas keramba ditingkatkan bersama dengan kapasitas sumberdaya manusia dan teknologi tepat guna, lobster budidaya Indonesia nantinya akan kompetitif. “Saya percaya bila suatu ketika kita sulit mendapatkan lobster dari alam maka akuakultur adalah salah satu solusinya, saat itulah akuakultur sudah superior,” tuturnya.
Pengembangan akuakultur tersebut dapat meningkatkan daya saing benih lobster Indonesia yang kini masih tertinggal dibanding Vietnam. Ia juga telah menyusun roadmap pengembangan lobster nasional begitu pula dengan kegiatan pengembangan akademis lobster melalui Lobster Aquaculture Estate.
Sementara itu, Trian Uunanda, SPi, MSc, Direktur Pengelolaan Sumber Daya Ikan, Kementerian Kelautan dan Perikanan juga hadir dalam kegiatan tersebut. Ia menyebutkan bahwa kecukupan terkait riset lobster saat ini tidak lebih dari 50 persen dari keseluruhan 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP). Hanya lima WPP yang baru dilakukan peneltian secara intensif. Sehingga peran akademisi diperlukan dalam pengkajian bersama atas data-data terbaru untuk mendapatkan data yang mutakhir. Ia juga menerangkan mengenai perkembangan pengelolaan lobster di beberapa WPP dan kebijakan Permen-KP No. 12 tahun 2020. (MW/Zul)
SDGs-14