Studi ini merupakan kerjasama antara FPIK-IPB dan Dinas Pertanian, Kelautan dan Katahanan Pangan Provinsi DKI Jakarta. Tujuan utama dari studi ini adalah menyusun disain kawasan konservasi di Pulau Tidung, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta. Studi ini dilaksanakan selama 4 bulan yaitu Mei- Oktober 2019 di bawah koordinasi Prof. Dr. Dietriech G Bengen dengan beranggotakan 4 pakar pulau kecil, analisis spasial, ekologi pesisir dan arsitektur lanskap
Studi ini merupakan kerjasama antara FPIK-IPB dan LIPI melalui skema Demand Driven Research Grant Tahun 2019. Tujuan utama dari studi ini adalah mengestimasi daya dukung sosial-ekologis serta keberlanjutan kegiatan ekowisata pulau kecil di kawasan Pulau Tidung, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta. Studi ini dilaksanakan selama 10 bulan yaitu Mei- Oktober 2019 di bawah koordinasi Dr. Luky Adrianto dengan backup peneliti dari Social-Ecological System of the Oceans (SESO Labs). Studi ini melibatkan 2 orang mahasiswa program magister dan 2 orang mahasiswa program sarjana.
Oct 2020
EMBRIO (Enhancing Marine Biodiversity Research in Indonesia) FPIK-IPB University melaksanakan kegiatan The 3rd EMBRIO International Symposium (The 3rd EIS). Tema EIS tahun 2019 adalah "Innovative solution and Technology for marine Biodiversity and Sustainable Fisheries". The 3rd EIS dilaksanakan di IPB International Convention Center dan Fave Hotel,Bogor pada tanggal 5-6 Agustus 2019. Keynote speaker dan invited speakers yang hadir yaitu sebanyak 8 pembicara dari negara Indonesia, Jepang, Taiwan, Swiss, Cina dan India. Peserta yang menghadiri kegiatan ini berjumlah 156 orang, yang terdiri dari 101 oral presenter, 40 poster presenter, dan 15 peserta non-presenter.Peserta yang hadir yaitu berasal dari 8 negara, yakni Indonesia, Jepang, Mesir, Cina, India, Vietnam, Taiwan, dan Belanda.
Forum Wacana IPB University menggelar Forum Wacana Talk dengan tema “Potensi Komoditas Lobster pada Perekonomian Nasional”, (15/12). Kegiatan tersebut mengundang beberapa narasumber baik dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) maupun IPB University dalam pandangannya mengenai pengelolaan lobster di Indonesia. Dr Riza Damanik, Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia berpendapat bahwa cara pandang mengenai perekonomian lobster mesti diubah. Kesalahan dalam mengidentifikasi persoalan mengenai polemik ekspor lobster tanpa disadari memberikan simplifikasi terhadap peran negara dalam pengelolaan lobster. Indonesia juga perlu belajar dari negara yang telah berhasil lebih dulu sebagai pengeskpor lobster, misalnya Kanada. Selain itu, seharusnya pengelolaan lobster juga dikembangkan ke arah budidaya sebagai arah baru lobster Indonesia. Dosen IPB University dari Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK), Dr Irzal Effendi pun setuju dengan pendapat tersebut. Menurutnya, seharusnya lobster tidak hanya sebatas aspek benih namun juga pengembangan budidaya. Kekayaan benih lobster stadium puerulus di pesisir Indonesia merupakan anugerah yang seharusnya dapat dikembangkan. Pentingnya pengembangan akuakultur juga menindaklajuti kegiatan overfishing yang dikhawatirkan dapat mengancam stok komoditas perikanan. Sehingga seharusnya paradigma pembangunan perikanan dengan mengendalikan perikanan tangkap melalui usaha budidya sudah harus mulai diterapkan. Data Food and Agriculture Organization (FAO) sendiri menyebutkan bila perkembangan akuakultur di Indonesia cenderung stagnan. Ia menyebutkan bahwa arah pengembangan budidaya berdasarkan Permen-KP No.12 tahun 2020 tentang pengelolaan lobster harus dimaknai. Dengan evolusi akuakultur, penyelamatan sumberdaya alam dari pemborosan dapat diatasi. Evolusi tersebut ialah perubahan dari penangkapan ke akuakultur berbasis benih alam menuju total akuakultur. Nantinya, benih lobster yang diekspor tak dalam bentuk baby atau juvenile namun stadium phyllosoma yang kelangsungan hidupnya tinggi. Macetnya perkembangan budidaya lobster di Indonesia sendiri dikarenakan kapasitas keramba untuk budidaya masih amat terbatas di angka 10.000 keramba. Bila kapasitas keramba ditingkatkan bersama dengan kapasitas sumberdaya manusia dan teknologi tepat guna, lobster budidaya Indonesia nantinya akan kompetitif. “Saya percaya bila suatu ketika kita sulit mendapatkan lobster dari alam maka akuakultur adalah salah satu solusinya, saat itulah akuakultur sudah superior,” tuturnya. Pengembangan akuakultur tersebut dapat meningkatkan daya saing benih lobster Indonesia yang kini masih tertinggal dibanding Vietnam. Ia juga telah menyusun roadmap pengembangan lobster nasional begitu pula dengan kegiatan pengembangan akademis lobster melalui Lobster Aquaculture Estate. Sementara itu, Trian Uunanda, SPi, MSc, Direktur Pengelolaan Sumber Daya Ikan, Kementerian Kelautan dan Perikanan juga hadir dalam kegiatan tersebut. Ia menyebutkan bahwa kecukupan terkait riset lobster saat ini tidak lebih dari 50 persen dari keseluruhan 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP). Hanya lima WPP yang baru dilakukan peneltian secara intensif. Sehingga peran akademisi diperlukan dalam pengkajian bersama atas data-data terbaru untuk mendapatkan data yang mutakhir. Ia juga menerangkan mengenai perkembangan pengelolaan lobster di beberapa WPP dan kebijakan Permen-KP No. 12 tahun 2020. (MW/Zul) SDGs-14